Rieke Pitaloka Soroti Subsidi Pertamina Tak Tepat Sasaran: Data & Digitalisasi Jadi Sorotan

Anggota DPR Rieke Pitaloka menegaskan subsidi BBM Pertamina tak tepat sasaran. Ia soroti kelemahan data, aturan ojol, hingga proyek digitalisasi yang diduga banyak kebocoran.

Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh Pertamina telah lama menjadi isu sentral dalam kebijakan energi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Baru-baru ini, Rieke Pitaloka, anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, kembali mengangkat persoalan bahwa subsidi Pertamina tidak tepat sasaran. Dalam beberapa forum resmi, ia menyebutkan bahwa terdapat kelemahan serius baik dalam basis data penerima, digitalisasi sistem distribusi, maupun regulasi terkait. Kali ini akan dibahas secara mendalam apa yang menjadi sorotan Rieke, sebab-sebab ketidaktepatan tersebut, dan solusi yang diusulkan agar subsidi kembali menjadi instrumen keadilan sosial.

BACA JUGA : Menkeu Purbaya Ungkap Penyebab Demo Karena Kebijakan


Sorotan Utama dari Rieke Pitaloka

Beberapa poin penting yang disampaikan Rieke Pitaloka dalam rapat dengan pihak-pihak terkait, termasuk Direksi Pertamina dan Komisi VI DPR, antara lain:

  1. Data Penerima yang Tidak Akurat
    Rieke Pitaloka menekankan bahwa data yang digunakan untuk menentukan penerima subsidi belum mencerminkan kondisi sosial-ekonomi yang sebenarnya. Ketidaktepatan data ini menyebabkan banyak subsidi diberikan kepada pihak yang sebenarnya tidak berhak, sementara masyarakat yang sangat membutuhkan kadang tidak kebagian.
  2. Larangan untuk Ojol Membeli BBM Bersubsidi
    Salah satu regulasi yang disorot adalah wacana larangan pengemudi ojek online (ojol) membeli BBM subsidi. Rieke Pitaloka menganggap regulasi ini memberatkan, karena banyak ojol yang berasal dari keluarga kurang mampu dan sangat bergantung pada subsidi tersebut untuk operasional sehari-hari.
  3. Proyek Digitalisasi yang Dicurigai Bermasalah
    Rieke Pitaloka mempertanyakan efektivitas proyek digitalisasi, salah satunya sistem MyPertamina dan kolaborasi antara Pertamina dan PT Telkom sejak 2018 hingga 2023. Proyek ini dijanjikan sebagai solusi untuk subsidi tepat sasaran, tetapi menurut Rieke Pitaloka, hasilnya belum sesuai. Ia menyebut adanya indikasi margin yang masuk ke Pertamina dari perubahan distribusi SPBU, serta biaya proyek yang sangat besar—sekitar Rp 3,6 triliun.
  4. Dugaan Kebocoran Keuangan Negara
    Dalam kerangka digitalisasi dan perubahan margin SPBU, Rieke menduga terdapat aliran dana yang tidak transparan. Misalnya, SPBU yang sebelumnya mendapat margin tertentu sekarang nampaknya tertekan, dan sebagian dari margin tersebut diklaim masuk ke entitas tertentu, sehingga menimbulkan kerugian negara.


Bukti dan Data Pendukung

Beberapa data & laporan yang mendukung pengamatan Rieke:

  • Kajian INDEF (2023) menunjukkan bahwa 96% penyaluran solar subsidi bukan kepada yang berhak dan 78% BBM jenis Pertalite juga tidak tepat sasaran.
  • Dari proyek digitalisasi Pertamina-Telkom (2018-2023), dana yang dikeluarkan cukup besar, namun sistem digital tersebut belum menunjukkan hasil yang memadai dalam memastikan bahwa subsidi memang sampai kepada masyarakat yang berhak.


Penyebab Ketidaktepatan Sasaran

Berdasarkan pengamatan Rieke dan laporan-pendukung, berikut beberapa penyebab utama:

  1. Basis Data yang Ketinggalan Zaman / Tidak Sinkron
    Banyak data yang belum diperbarui, atau terdapat tumpang tindih antara data penerima bantuan lain, data kependudukan, dan data warga kurang mampu. Ketidak sinkronan ini menyebabkan kesalahan seleksi.
  2. Sistem Digitalisasi yang Belum Optimal
    Digitalisasi memang dipandang sebagai solusi, namun implementasi proyeknya dinilai masih lemah dalam pengendalian, audit, dan transparansi. Misalnya sistem MyPertamina yang belum menangani sepenuhnya identifikasi penerima yang berhak, integrasi data antar instansi terkait, dan pengawasan real-time.
  3. Regulasi dan Kebijakan yang Tidak Responsif terhadap Kondisi Sosial
    Kebijakan seperti larangan bagi ojol membeli BBM subsidi dianggap kurang mempertimbangkan realitas di lapangan, di mana sebagian besar pengemudi ojol adalah golongan pendapatan rendah, dan sangat terdampak apabila subsidi dicabut sepihak.
  4. Potensi Konflik Kepentingan dan Kurangnya Transparansi
    Dengan adanya margin yang berubah di SPBU, dan penggunaan biaya digitalisasi yang besar, Rieke menyebut bahwa ada ruang bagi praktik-praktik yang kurang transparan. Tanpa audit dan oversight yang jelas, risiko penyalahgunaan dana tinggi.


Solusi dan Usulan dari Rieke

Untuk memperbaiki agar subsidi menjadi tepat sasaran, Rieke mengusulkan beberapa langkah konkret:

  1. Revisi dan Sinkronisasi Basis Data Penerima
    Melakukan pembaruan data segera, sinkron antar instansi (kemensos, BPS, Pertamina, dan lainnya), agar data penerima subsidi sesuai dengan kriteria masyarakat kurang mampu sesungguhnya.
  2. Pertahankan Subsidi bagi Golongan harus Mendapatkan, termasuk Ojol
    Menolak wacana pencabutan subsidi untuk pengemudi ojol, karena menurutnya otomatis membebani kelompok yang tergantung dengan subsidi untuk operasional harian. Perlu regulasi yang adil dan mempertimbangkan kondisi mereka.
  3. Audit dan Transparansi dalam Proyek Digitalisasi
    Meminta pemeriksaan menyeluruh terhadap proyek digitalisasi Pertamina-Telkom; memastikan bahwa setiap dana digunakan sesuai tujuan subsidi tepat sasaran. Sebaiknya melibatkan aparat penegak hukum dan lembaga pengawas (BPK, KPK, Kejaksaan) untuk mengungkap indikasi kebocoran dan memastikan pertanggungjawaban.
  4. Regulasi yang Fleksibel dan Sensitif Sosial
    Pemerintah dan Pertamina perlu mempertimbangkan kondisi lapangan dalam membuat aturan, termasuk memperhitungkan dampak terhadap masyarakat berpenghasilan rendah seperti pengemudi ojol, petani, nelayan, serta warga di daerah terpencil.
  5. Penguatan Sistem Monitoring Real-Time
    Memanfaatkan digitalisasi bukan hanya untuk sistem transaksi, tetapi untuk monitoring distribusi subsidi secara real-time agar penyimpangan bisa cepat terdeteksi dan diperbaiki.


Dampak Ketidaktepadanan Subsidi

Ketika subsidi tidak tepat sasaran, dampaknya bisa luas:

  • Beban Anggaran Negara melonjak karena subsidi dinikmati oleh yang tidak berhak.
  • Ketidakadilan Sosial: masyarakat yang sangat membutuhkan bisa terabaikan, sementara kelompok yang lebih mampu menikmati subsidi.
  • Distorsi Pasar: subsidi yang bocor bisa mendorong konsumsi yang tidak efisien dan menurunkan insentif bagi penggunaan BBM non-subsidi atau energi alternatif.
  • Kesalahan Kebijakan dan Kepercayaan Publik bisa menurun jika publik melihat subsidi yang seharusnya menjadi instrumen kesejahteraan malah menjadi ladang inefisiensi dan potensi korupsi.


Kesimpulan

Sorotan Rieke Pitaloka atas subsidi Pertamina yang tidak tepat sasaran menjadi pengingat bahwa kebijakan subsidi bukan hanya sekadar anggaran, melainkan juga soal keadilan sosial dan efektivitas pemerintahan. Data yang akurat, digitalisasi yang transparan, regulasi yang berpihak pada kelompok lemah, dan pengawasan yang ketat menjadi kunci agar subsidi bisa benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan. Apabila langkah-langkah ini diabaikan, subsidi besar sekalipun akan sia-sia jika tidak tepat sasaran.

Mungkin Anda Menyukai